Home

Friday, March 22, 2019

Jaketnya kuning cerah, celana bahan, dan sepertinya belum sadar penuh dari tidur kilatnya.

Kami janjian makan seafood tapi karena sudah terlalu malam, lagi-lagi bertemu di Upnormal.

Kami duduk berseberangan, tepat di depan pintu orang lalu lalang. "Jadi ngga? Pulang nih." Kataku setengah memaksa. Lalu duduknya berpindah di sebelahku.

Dan kata-kata itu akhirnya keluar juga dari mulutnya, "Oneng mau nggak jadi istri saya?" Mendengarnya, terasa segeli membaca: "Assalamualaikum, saya Rifqi anaknya Tante Alis.." di layar handphone, siang hari bolong 1 Agustus 2018.

***

Namanya Rifqi, tidak pernah sama sekali bertemu bahkan niat berkenalan. Aku hanya mengenal Mamanya sejak aku kecil. Beliau sering menginap di rumahku setiap kunjungannya ke Yogya. Teman baik Mamaku semasa SMA😜 

Ngomong-ngomong soal Rifqi, pertengahan 2018, kalau tidak salah, kami sempat 'bertemu' dengan kedok, "Nduk, malam minggu bisa minta tolong antar kain ke anaknya teman Mama di Janti?" awalnya berjalan biasa saja, sampai Mama tidak hentinya memastikan malam itu aku pasti bisa ke sana.

Ada yang tidak beres, tapi aku berusaha biasa saja karena waktu itupun sepertinya aku baru saja putus, dalam masa ketenangan belum mau mencari pengganti. Untuk apa sih repot-repot, kan? Tapi semua jadi lain kalau Mas Tata yang bicara. Pagi itu kami hanya berdua saja membeli kembang tahu di Jalan Asem Gede, tiba-tiba, "Kamu mau nggak dikenalin?" Aku pikir seperti yang sudah-sudah, dikenalkan dengan temannya, ngga makasih, dalam hati. "....bentar, ini jangan-jangan yang kain itu ya?" Berlaga bego, atau memang rencana konyol itu hanya Mama yang tahu, aku menceritakan semuanya.

Di situlah kami, aku dan tentengan kain batik, dia yang -ternyata setelah aku tanyai belakangan- tidak tahu apa-apa, dan Mas yang berusaha membuka obrolan. Singkat sekali pertemuan itu, sampai-sampai kesimpulan: "Orangnya diem banget ya, Neng." terucap juga di bawah jembatan tempat kami berteduh, kehujanan.

Friday, March 1, 2019

Hari-hari Berat di Jakarta

Gambar diambil dari twit Adjie Santosoputro, dalam sebuah thread #EmotionalHealingBarengAdjie

Suatu pagi aku harus ke Stasiun Gambir sendirian, setelah malam sebelumnya mencatat bagaimana cara ke Soetta dengan Damri serinci yang aku bisa catat. Bus Damri dalam bayanganku layaknya bus kota di Yogya. Ternyata: ACnya dingin, tiketnya 40 ribu rupiah, dilengkapi port charger di samping kursi. Nyaman, tapi kuatir tidak hilang sampai aku tiba lagi di kosku keesokan harinya.

Diminta menjadi MC di sebuah rapat besar berisi seratusan pejabat, padahal aku hanya pernah menjadi MC dua kali saja, sekelas 17an di kampung. Aku menyusun naskahnya beberapa hari sebelum, sekadarnya, berlatih berbicara sambil menyetrika baju-baju, rundown acara berubah sebagian besar di malam sebelum acara. Diujung hari itu aku lelah luar biasa tapi bangga suaraku dapat sebening dan selancar itu di depan orang-orang.

Diam-diam menangis selepas sholat Ashar di kantor. Aku berkejar dengan waktu, sudah pula dibantu oleh beberapa orang teman. Tapi masih juga ada tidak beresnya. Orang-orang datang bertanya, "Masih lama ngga?"

Berat badan turun dengan tambahan pekerjaan baru, pengadaan jamuan. Seharusnya bisa lancar tapi karena terlalu banyak ranting jadi tersendat sana-sini. Aku berusaha semaksimal yang aku bisa: memundurkan jam sampai jamuan di kantor, memeriksa sampai ke isi jamuannya, dan selalu online kapanpun dibutuhkan dihubungi, dst, dst. Hari itu jamuan tetap saja tertukar dengan rapat lain. Ketika mau ditukar lagi? Jamuannya sudah dikonsumsi. Sialnya aku sedang tidak di kantor untuk bisa terjun langsung. Akhirnya, terjadi dua pesanan yang tanpa kebanyakan drama air mata terselesaikan juga (aku pernah berlinang air mata karena jamuan yang dipesan terlambat datang di rapat, dan peserta rapat otomatis jadi tidak membawa makan siang).

Pulang ke rumah hanya saat weekend, sebulan sekali. Sempit tapi sedemikian rupa diatur agar cukup. Perut sedang bosan diisi nasi. Flu melanda. Hari Jumat tidak kuat di kantor lalu izin pulang siang. Akhir pekannya harus pergi lagi. Hanya meminum segelas air madu lalu kubiarkan saja berharap sembuh sendiri. Salah besar. Hari Senin sepulangku dari Cirebon, suaraku hilang. Esoknya pukul 06.30 pagi aku nekat pergi ke Puskesmas Menteng tanpa mandi dan sarapan. Menunggu 2 jam lamanya sampai akhirnya 5 macam obat seharga dua ribu rupiah, saja, berada di tanganku.

Sudah lupa seberat apa hari itu. Masih lembab sehabis hujan deras. Aku menengadah ke atas. Tupai kecil  terbalik, lihai meniti kabel listrik yang masih basah.