Home

Sunday, February 1, 2015

Tentang Mbah Buyut dan Rumah Kesayangannya

Sebelum subuh tadi aku sudah bangun, hendak menulis surat cinta ketiga. Lucu sekali ketika tidak ada seorangpun atau barang atau hewan atau apapun yang berkelebat berkode minta dikirimi surat cinta. Ternyata pagi sampai sore ini, aku dipertemukan dengan penerima suratku.... 

Teruntuk: Mbah Buyut beserta rumah kesayanganmu.
Selamat petang duhai pemilik kerut-kerut dan tawa yang tidak pernah kulupa... 
Kami berenam sudah sampai di rumah. Apa Mbak Rin dan cucu-cucumu sudah pulang? Semoga lampu rumahmu tidak lagi mati seperti yang Mbak Ar ceritakan, jadi Mbah Buyut tidak perlu melewati jalan setapak samping rumah sendirian tanpa digandeng. Di situ banyak batu dan licin kalau hujan turun seperti ini. 

Rumahmu begitu kami rindukan setiap berkunjung ke Kebumen sehabis menengok Kakung di pusara. Biasanya kami datang berombong-rombongan, bermobil-mobil. Pusara Kakung jauh di atas bukit, dipagari semen. Sandal kami selalu ditempeli tanah merah dan sisa-sisa lembab embun di rerumputan makam. Pakdhe yang paling awal sampai, membuka pintu pagar kecil. Keriutnya bisa didengar oleh kami yang tertinggal. Katanya, "Assalamualaikum.." kepada yang telah mendahului dan berbaring dengan nyaman di bawah nisan. Semoga mereka tahu kami sedang berkunjung.

Air dalam jerigen kami siramkan ke pusaranya kemudian perpaduan bunga mawar, kenanga, dan kantil kami taburkan. Pakdhe lagi-lagi memimpin, berbaris doa-doa ia rapalkan seperti mantra yang sudah ia hafal di luar kepala. Kami tinggal mudah mengamini.

Lalu kami ke rumahmu. Rumahmu yang sehangat senyuman Mbah Win, pelukannya pada kami satu-persatu, dan ciumannya yang mantap didaratkan di pipi kami. Terasmu sejuk semilir, hijau di mana-mana. Lonceng bambu yang digerakkan angin itu juga seperti turut serta mengobrol bersama kami. Dari teras kami berjalan ke ruang tamu, tempat lodong-lodong berisi jajan ala-ala desa disuguhkan dengan rela pada tamu. Mbah Win yang ramah itu terlalu sering mengingatkan kami untuk menambah lagi makan sneknya. Oh iya, tempe mendoan hangat gorengan Mbak Ar pasti langsung habis kalau disuguhkan.

Perlahan dari kamar muncul Mbah Buyut. Dengan sopan kami raih dan cium tanganmu yang renta. Segala yang Mbah Buyut mau katakan selalu dilengkapi dengan tawa khas, selalu. Pendengaranmu mulai berkurang kepekaannya jadi tidak apa jika kami harus ikut menjawab pertanyaanmu yang berulang-ulang. 

Bukan itu semua yang kami lihat pagi tadi.
Pintu garasimu terbuka lebar sekali, pun ditambah bolong rapuh dipaling bawahnya. Ilalang menggantikan bunga mawar dan kenanga di halaman, pot-pot dibiarkan bergelimpangan tanpa tanaman. Lonceng bambumu tidak syahdu lagi ketika disenggol angin. 

Ketika kami menyadari pintu dan jendelamu tertutup rapat, kami berpikir Mbak Rin sedang keluar. Sepi sekali. Kami masuk lewat pintu tembus ruang makan yang ternyata tidak dikunci. Bau aneh-aneh langsung menguar. Sepatu ditaruh sembarangan, baju-baju bersih cuma di taruh asal saja di sofa, pakaian kotor tergeletak menggunung di depan kamar mandi, jemuran menggantung di langit-langit, dan Mbah Buyut ada diantara itu semua. Sedang tidur siang.

Budhe mengelus lenganmu perlahan, matamu terbuka kemudian duduk, "Oalah ana tamu seka Yoja?"
Aku melihat meja makanmu telah berganti lincak berkasur tipis tempatmu tidur. Hawa di sini pengap. Pintu samping kami buka agar udara segar untukmu masuk. Entah apa yang dilakukan penghuni rumahmu ini ya.... piring kotor ditumpuk di halaman samping, garpu jatuh ke tanah. Semua barang seperti tidak punya tempatnya masing-masing. Seperti halnya remah kayu di bawah lemari tua itu, dibiarkan saja tidak disapu.

Mbahti duduk di dekatmu berbasa-basi tentang kabar dan mengabari kalau Tatang-mu, cicitmu yang gendut ini sudah mau menikah. Kalau Mbahti dan Mbah Buyut berdampingan seperti ini aku jadi lupa susah-payah Mbahti berjalan mendaki bukit ke pusara Kakung sepagi tadi. Kerut Mbahti jadi tersamar, Mbahti menjadi lebih muda dari yang aku lihat biasanya. Mbahti membujukmu terus-menerus untuk ikut kami saja ke Jogja, dengan segala macam cara. Hanya "Ora, inyong ning omah bae. Saake Rin repot." dan gelengan kepala yang kami dapat.

Kami mengkhawatirkanmu. Dari Mbak Ar kami tahu Mbah Buyut sering telat makan gara-gara tidak ada makanan di rumah. Wajan-wajan di dapur menganga kotor berjamur, Mbak Rin-pun kata Mbak Ar tidak pernah memasak. Kerjaan Mbak Rin hanya bolak-balik Kebumen-Karanganyar mengantar anak-anaknya ke sekolah atau les, tiga kali sehari. Tega sekali ya Mbak Rin meninggalkanmu sendirian... 

Kami mengkhawatirkanmu. Sejak meninggalnya Mbah Win kemudian disusul suaminya, rumahmu kehilangan keramahannya. Lodong-lodong di ruang tamumu dipindah entah ke mana, camilan-camilannya turut raib mungkin berdebu di salah satu lemarimu. Meja makanmu hampa hanya berisi sayur tadi pagi yang Mbak Ar masakkan untukmu. Seberapa penting rumah ini sampai-sampai Mbah Buyut betah bertahan lama-lama? 

Semoga sehat selalu.
Tertanda,


Si Neng.

No comments:

Post a Comment