Home

Friday, March 23, 2018

Ukur dan Syukur


Doa-doa seringkali terkabul tanpa disadari,

Seperti pagi itu, dalam sebuah bis kecil menuju Semarang, aku takjub melihat plang-plang toko di Muntilan. Cahaya pagi mendadak dramatis hanya dengan mengenai kursi-kursi di depanku. Segalanya menjadi berjalan lambat, seperti sedang menonton film kesukaan dengan aku di dalamnya, sebagai aku, bersama Devy yang ketiduran.

Hari pertamaku dihabiskan dengan membolak-balikkan laporan pajak dalam ordner besar, mencatat, mengetik, begitu terus sampai sore. Malamnya, aku dan Devy makan tahu gimbal di Simpang Lima Semarang. Kami senang begitu tahu pusat oleh-oleh, Padanaran, ada di dekat situ, kami pikir bisa jalan kaki sambil ngobrol. Ternyata lumayan karena harus melewati dua lampu merah. Akhirnya kami naik becak yang telah ditawar dengan agak manusiawi.

Kami kunjungan pabrik di hari kedua. Semuanya terasa baru dan seru. Aku diajari cara membedakan mana jalan aspal dan mana jalanan beton, mana yang lebih kuat dan awet, mana yang lebih licin ketika hujan. Sampai akhirnya kami benar-benar sampai di pabrik. Mesin kuning yang besar sekali itu adalah mesin pencampur aspal. Ada sepasang tangki berisi aspal padat, dan pipa-pipa penyalur menuju si mesin kuning tadi jika aspalnya sudah mencair. Nantinya truk pengangkut akan siap persis di bawahnya. Aspal yang telah dicampur rata, dituang, dan siap diantarkan ke tujuan selagi masih panas. 

Aku memejamkan mata, masih dalam bis yang menderu halus di jalanan aspal, merasa semua ini tidak mampu aku rekam semua-muanya. Lalu aku memutuskan menikmati sekenanya, seadanya, 

"Sebuah nostalgia yang takkan terlupa,
tentang gadis bingung dan pengembara"

"Ternyata bukan tentang menanti dan menunggu,
Tetapi memang telah waktunya tuk bertemu"

Monita bernyanyi di telingaku, dan aku akhirnya berhenti mengukur-ukur segala sesuatunya.

No comments:

Post a Comment